FAKTANEWS.ONLINE, KONAWE - Putusan sidang terhadap anggota wartawan di pengadilan negeri (PN) Unaaha Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi tenggara (Sultra), terhadap kasus wartawan yang diduga melakukan pencemaran nama baik terhadap mantan Kepala Desa Tanjung Laimeo Kabupaten Konawe Utara berujung mengecewakan dan diskriminatif.


Pada kasus tersebut wartawan inisial EL dijerat dengan UU ITE atau pencemaran nama baik dikarenakan mempublikasikan link medianya di akun Facebook miliknya sendiri.


Diketahui kasus tersebut sudah cukup lama mengendap di meja penyidik Polda Sultra dan hal tersebut dinilai di paksakan naik pada proses persidangan.


Sampai pada titik akhir proses persidangan ada banyak hal yang mengganjal yang dinilai oleh berbagai Lembaga, diantaranya Ketua Lembaga Investigasi Negara Sulawesi Tenggara dan Ketua Persatuan Jurnalis Indonesia Sulawesi Tenggara selaku lembaga pendamping kedua tersangka tersebut.


Oleh yang di sangkakan kepada dua Wartawan asal Kabupaten Konawe Utara (Konut), atas sangkaan memberitakan pejabat publik tampa hak, dan telah mencemari nama baik seorang pejabat publik terkait indikasi korupsi Dana Desa (DD) pada saat masih menjabat sebagai Kepala Desa di Desa Tangjung Laimeo Kec Sawa, Kab Konawe Utara, Jumat, (05/04/2024).


Adyans Ketua Lembaga Investigasi Negara Sultra menilai kasus ini adalah bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers. Kami menilai kasus wartawan ini adalah bentuk pembungkaman terhadap karya Jurnalistik yang benar-benar murni dan sesuai standar kerja mereka sebagai wartawan. Terangnya.


Kami sangat menaati proses hukum yang berjalan dan itu tugas kami sebagai lembaga mitra pemerintah dan APH, namun dalam kasus ini benar-benar membuat pola pikir kami terganggu akibat hasil yang tidak rasional menurut pandangan kami selaku lembaga pendamping. Ucapnya.


Sebuah keanehan dalam proses hukum telah terjadi dan bergulir di meja persidangan, tentu tidak logis dan sangat diskriminatif, salah satu utusan dari Dewan Pers sebagai saksi Ahli ngawur dan tak mendasar dalam memahami konsep sadar tentang kebebasan pers serta legal stending ( kekuatan hukum) perusahan pers. Kata Adyans.


Tidak ada istilah tidak memiliki hak dan kewenangan mendistribusikan atau mempublikasikan link berita yang sah di laman Facebook apa lagi wartawan tersebut punya legalitas yang sah sesuai dengan standar perusahan pers sebagaimana diatur dalam aturan standar perusahan pers dari Dewan Pers sendiri ialah BAB III Pasal 5,6,7 terkait aturan standar perusahan pers.


Adyans menambahkan, saat ini APH makin tidak profesional dalam memahami fakta-fakta dilapangan, wartawan EL menulis berita sesuai dengan fakta dilapangan, ialah hasil dari narasumber itu sendiri dan juga memiliki narasi dan berpatokan pada Sistem Informasi Desa(SID), sedangkan SID tersebut sah dan tidak terbantahkan. Kata dia.


Ini benar-benar diskriminatif dan penuh dengan keanehan, seharusnya APH paham bahwa kerja Jurnalis itu dinamis dilapangan yang juga sudah sesuai dengan kode etik yang berlaku, kita tau bersama bahwa jurnalis adalah bagian dari tugas yang mulia untuk menjaga keutuhan bangsa dan mencerdaskan kehidupan bangsa melalui tulisaannya sesuai data dan fakta, apa lagi dalam hal ini wartawan tersebut uangkap soal Korupsi. Tegas Adyans.


Pada persidangan yang di hasilkan oleh Pengadilan Negeri Unnaha merupakan kebuntuan berpikir  terkait kerja jurnalis,tentu kami tidak akan diam, keputusan diskriminatif itu telah mencoreng nama baik wartawan dan bentuk pembukaman terhadap kebebasan pers.


Ini bukan persoalan seorang wartawan saja namun keputusan ini akan berpotensi dan berlaku bagi semua wartawan dan pemilik perusahan pers, seharusnya Dewan pers membedakan mana tugas utama mereka dalam hal melindungi wartawan bukan mengintervensi persoalan perusahan pers yang tidak terdaftar di lembaga Dewan Pers, apa korelasinya? dan dalam aturan standar perusahan pers tidak pernah Dewan Pers menjelaskan Wajib bagi perusahan pers mendaftar pada lembaga mereka, itu hal yang berbeda.


Jika Dewan Pers ingin kebijakan yang utuh soal perusahan pers dan perlindungan wartawan maka silahkan Dewan pers lakukan MoU kepada KemenkumHAM dan Notaris bahwa dalam pembuatan perusahan pers harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi Dewan Pers baru diterbitkan SK kemenkumham dan Notaris serta surat izin perusahan dari negara, itu baru cara yang baik dan benar. ungkap nya.


Kami akan melakukan konsolidasi usai lebaran ini, tentu hal ini tidak bisa dibiarkan, in shaa Allah 27 ormas yang tergabung dalam FORUM KOMUNIKASI ORMAS Sultra dan beberapa Lembaga Pers akan berkumpul usai lebaran dan siap bertandan di Pengadilan Negeri Unaaha dan kejaksaan, gerakan yang kami lakukan nanti merupakan gerakan murni dan kami akan menindaklanjuti laporan Lembaga Investigasi Negara kemarin di Kejari Unaaha terkait Dugaan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan mantan kepala desa tanjung Laimeo itu. Tegas Adyans yang juga Sekjen FORKOM Sultra tersebut.


Penjelasan yang berbeda datang dari Ketua Persatuan Jurnalis Indonesia Sulawesi Tenggara saat dikonfirmasi oleh media ini, Agus Salim P. Menegaskan bahwa putusan sidang sengketa Pers di pengadilan negeri (PN) Unaaha Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi tenggara (Sultra), terhadap kasus pencemaran nama baik dan UU ITE yang di sangkakan kepada dua Wartawan asal Kabupaten Konawe Utara (Konut)tersebut tidak adil dan tak mendasar.


Sengketa Pers yang dialami oleh kedua Wartawan tersebut menuai banyak sorotan dari kalangan penggiat media khususnya di Sulawesi Tenggara karena dinilai telah dilakukan diskriminasi dan pembungkaman terhadap kemerdekaan Pers nasional yang telah di atur dalam ketentuan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers.


Menanggapi persolan hukum yang menimpa kedua Wartawan tersebut, Ketua Persatuan Jurnalis Indonesia Prov Sultra Agussalim Patunru mengatakan “ Kami menghargai proses hukum yang berjalan selama ini, sejak awal penyelidikan oleh tim penyidik bidang Siber Krimsus Polda Sultra pada awal Tahun 2021 lalu, kemudian menjadi status tersangka pada 29/12/2022, dan ditahan di Kejaksaan Negeri Konawe pada 11/12/2023 kemudian divonis hari ini Rabu 3/4/2024, saya bersyukur karena terdakwa II AM telah divonis bebas karena terbukti fakta-fakta persidangan tidak bersalah, namun terdakwa I EL divonis 6 (enam) bulan penjara sehingga hal itu menjadi sorotan dari teman teman penggiat media khususnya di Sultra "pungkasnya.


EL dilaporkan karena dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena memberitakan terkait dugaan tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh oknum Kepala Desa Tanjung Laimeo dan itu kemudian dianggap sebagai pencemaran nama baik.


Oleh karenanya, Ketua Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulawesi Tenggara menganggap hal itu telah dilakukan pembungkaman terhadap Pers karena EL dinilai telah menjalankan tugasnya dengan baik, mulai dari pengumpulan informasi yang dihasilkan dari beberapa narasumber, EL tercantum namanya di redaksi terkait, medianya berbadan hukum sesuai perundangan yang berlaku, sehingga Agussalim menantang keputusan majelis hakim memvonis EL 6 (enam) bulan penjara, hal itu harus kita kaji kembali, tidak boleh ada kekeliruan dalam putusan itu "tegasnya melalui siaran Pers di Kendari Jum,at 5 April.


Menurut Agussalim Patunru, Kemerdekaan Pers, Kebebasan Pers/ (freedom of the press) adalah hak yang diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebar luaskan, pencetakan dan menerbitkan surat kabar, majalah, media online atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah.


“Secara konseptual kebebasan pers akan memunculkan pemerintahan yang cerdas, bijaksana, dan bersih. Melalui kebebasan Pers, masyarakat akan dapat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja pemerintah, dan khususnya oknum Kepala desa yang terindikasi menyelewengkan anggaran sehingga muncul mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan, karena itu, media dapat dijuluki sebagai pilar keempat demokrasi, melengkapi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kebebasan Pers pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi,” jelas Ketua PJI Sultra.


"Ini telah menciderai wartawan seluruh Indonesia, bukan saja di Konawe Sulawesi Tenggara dan pembungkaman ini harus di lawan karena hal ini bentuk kezoliman," Ungkapnya.


"Bentuk diskriminasi ini telah mencederai hati para jurnalis terutama hati kami yang di mana seorang wartawan dijerat undang-undang ITE karena mereka telah mengungkap dugaan tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh Kepala Desa.


Berkaitan hal tersebut bertentangan dalam peryataan Wakapolri, Komjen Pol Agus Andrianto, mengingatkan seluruh pihak, bahwa produk Jurnalistik yang diproduksi lewat mekanisme jurnalisme yang sah, dari Perusahaan Pers legal, tidak dapat dibawa ke ranah pidana.


Produk tersebut kata Komjen Pol Agus Andrianto, juga tidak dapat dijerat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE.

“Untuk kasus yang memang dimunculkan adalah sesuatu hal benar (berita), wartawannya juga tidak boleh diproses kalau memang informasi itu benar, bukan fitnah,” tegas Agus seperti dikutip dari fajar.co pada Selasa 12 Maret 2024 lalu.


Asisten Kapolri bidang Sumber Daya Manusia (As-SDM), Irjen Pol Dedi Prasetyo, mengatakan, media sosial dan media massa siber adalah dua produk berbeda.


Media sosial, kata dia, dibuat tanpa konfirmasi maupun diklarifikasi. Adapun media massa siber sebaliknya. Media perusahaan pers bisa dikonfirmasi maupun dimintai klarifikasi, hak jawab, hak sanggah apabila terjadi kekeliruan pemberitaan.


Bagi teman-teman media, semua produk yang dihasilkan dilindungi Undang-undang. Saat ini kecepatan informasi di media sosial bisa mencakup semua tanpa batas waktu dan wilayah. Cuma, produk jurnalistik harus bisa dipertanggungjawabkan baik diklarifikasi maupun dikonfirmasi.(Ql)