FAKTANEWS.ONLINE-- Sebaiknya kita selaku Insan Pers harus saling mengerti  dan memahami tujuan dan tupoksi Wartawan Gigih ulet  rajin, sabar dan tekun sederet kata penyerta di belakang kata: "Berani", itu. 


Sekalipun, acap kali, keberanian diperoleh seorang wartawan saat dia melakukan hal yang dia takutkan. Keberanian, tetap prioritas utama seorang "Wartawan Sejati saat menjalankan misi pers paling mulya Kontrol Sosial


"Kerjakan hal yang Anda takutkan, keberanianmu akan tumbuh", motto yang sejak lama di gelorakan untuk membakar semangat "Wartawan Muda".


Di Lembaga Pendidikan Wartawan "membuang rasa takut" dipelajari khusus dalam Mata Kuliah Strategi Menembus Narasumber


Bukti betapa keberanian itu sangat dibutuhkan profesionalisme dalam melakoni kinerja jurnalistik yang terus berkembang.


Dewan Pers mengklaim di Tahun 2020 jumlah Wartawan Indonesia saat ini sudah melewati angka 100 ribu. Jumlah media berita bertengger di angka 43 ribu


Jika Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dinilai sebagai alat ukur skill jurnalisme yang valid, Indonesia baru memilki 13 ribu wartawan profesional. Sisanya, sekitar 70 ribu lebih jurnalis amatir yang terus bersinergi dalam arus kompetisi perburuan informasi.


Semangat dedikasi para jurnalis amatir, terkadang melebihi para wartawan penyandang predikat kompeten. Heroisme itu kerap kali wujud keberanian eksklusif, melampaui batasan etik.


Tetapi, Keberanian Wartawan, memang harus tetap bergelora paling tidak di dua situasi ini, Pertama saat ditugasi meliput di area konflik. Kedua, saat meminta konfirmasi dari pihak terberitakan.


Kita fokus pada item "kedua" tentang permintaan konfirmasi, sebagai kewajiban memenuhi amanah Pasal 1 dan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik Indonesia

(KEJI). Yakni, "Azas Perimbangan" dalam.berita.


Artinya, secara etik, memenuhi permintaan konfirmasi syaratnya wajib. Mengabaikannya, berarti pelanggaran terhadap KEJI.


Sebenarnya, kewenangan seorang wartawan melakukan permintaan konfirmasi bisa dijadikannya sebagai sarana berlatih.


Dari kewenangan ini, dia bisa berlatih menggunakan "senjata" dalam.perburuan informasi melatih kemampuan berkomunikasi, kemampuan mendeskripsikan narasumber, melatih menghadapi sikap narasumber yang beragam, melatih kesabaran serta meningkatkan hubungan sesama.


Pada aspek inilah permintaan konfirmasi secara langsung dinilai lebih pada kesempatan belajar bagi seorang wartawan.


Belajar yang mengharuskannya membuat persiapan yang memadai. Penampilan fisik yang prima serta kesantunan berkomunikasi sebagai figur seorang wartawan profesional.


Di sisi lain, wartawan sebaiknya mengapresiasi kewenangan "meminta konfirmasi secara langsung" sebagai senjata paling "mematikan" bagi narasumber. 


Karena, pada kondisi ini, narasumber tidak (lagi) bisa menghindar meminta konfirmasi secara langsung adalah "senjata" paling melumpuhkan. 


Sepanjang prosesi kinerja jurnalistik si Wartawan tetap tunduk pada koridor Kode Etik jurnalis Indonesia


Kode Etik sebagai "buku petunjuk" penggunaan "senjata" Wartawan, mengharuskan tata cara

profesional dan terhormat di bawah "payung" Azas Praduga tak Bersalah.


Pada titik ini, keberanian dan kesabaran seorang wartawan benar-benar diuji. Terlebih kala berhadapan dengan seorang narasumber yang sulit.


Bersabar seraya mencari Strategi Menembus narasumber yang (sangat) sulit itu. Tentu saja, situasi ini tidak mudah di tengah tenggat deadline yang membayang-bayangi.


Situasinya kian pelik. Masalahnya, bagi sebagian narasumber yang sudah lebih dulu merasa bersalah atas prilakunya, biasanya akan berupaya maksimal menghindari wartawan. Inilah cara dia menutupi ketakutannya.


Menghadapi narasumber demikian, sebaiknya wartawan tetap sabar dan jangan terpancing. untuk terburu-buru menaikkan berita. 


Kerahkan dulu kemampuan maksimal. Tekad kuat dan kesabaran pasti akhirnya membuahkan hasil. Situasi "sulit" ini akan menghadirkan rintangan dan cobaan bagi wartawan. Tetapi, hanya situasi sulit yang membuat wartawan: kuat. Tumbuh menjadi wartawan hebat.


Lantas, bagaimana jika wartawan tidak bisa bertahan? Kemudian menempuh cara-cara instan lewat sarana komunikasi elektronik ?


Kini, sebagian wartawan terbiasa melakukan konfirmasi dengan Android lewat sarana Media Sosial (Medsos). Mengirim pesan permintaan konfirmasi via WhatsApp (WA) sudah merupakan kelaziman. 


Bagi produsen Android dominasi penggunaan medsos ini bagai gayung bersambut. Bukankah Android dan sejenis di produk untuk memanfaatkan

laziness (kemalasan) publik?


Tetapi, sebagian pihak menuding lebih padal minimnya keberanian karena kurangnya skill jurnalisme si Wartawan.


Yang pasti, tanpa meminta konfirmasi langsung kepada narasumber, seorang wartawan akan kehilangan kesempatan menggunakan senjatanya yang paling melumpuhkan.


Dengan menggunakan jalur konfirmasi tak langsung, kekuatan senjatanya praktis melemah. Malah, bisa jadi bumerang, bila mana narasumber memanfaatkan kealfaan itu.


Toh, sepanjang terpenuhi Azas Perimbangan, yah..,

Kode Etik memang memberi toleransi.

Maksudnya, syah - syah saja wartawan meminta konfirmasi lewat Medsos atau Short Message Service (SMS) telepon genggam.


Tetapi, jika si Narasumber tidak membalas (karena sesuatu hal) apakah berita yang ditulis itu memenuhi standar moral (etik) bagi nurani si Wartawan?


Setuju atau tidak, seperti disebut tadi, narasumber akan menjadikan ketidaksempurnaan permintaan konfirmasi ini sebagai dalih.


Situasinya, malah bisa makin emosional. Masalah etik merembes ke titik celah pidana UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Delik Pencemaran "nama baik" dijadikan perisai oleh narasumber.


Situasi ini pula tampaknya, yang kerap menjadi "jalan masuk" bagi narasumber untuk meng- kriminalisasi wartawan.


Terlepas dari itu, saat ini, pengaduan ke media Dewan Pers atas ketidak seimbangan berita yang ditulis wartawannya terus mengalami eskalasi.


Sebagai seorang awam, saya lantas berhipotesis inilah salah satu dampak menggantikan senjata wartawan dengan teknologi Android, Ternyata, tidak selamanya penggunaan produk kecanggihan perangkat komunikasi mampu memenuhi tuntutan moral jurnalisme.


Meminta konfirmasi secara langsung, berikut perjuangan yang menyertainya, tetap dinilai sebagai senjata mematikan bagi seorang Wartawan.


Untuk itu, terserah pada si Wartawan: Menggunakan senjata melumpuhkan dengan permintaan konfirmasi langsung atau memilih dilaporkan?


Hanya Wartawan Sejati yang berani menodongkan "senjata"-nya, dengan perkasa."